Sabtu, 27 Juni 2009

KONSISTENSI PERJUANGAN MAHASISWA 

Oleh : Faisal Gani 



Sebagai awal tulisan ini saya ingin mengelitik pikiran dan nurani kita semua yang mengatasnamakan mahasiswa. Apakah kita pernah menyadari dan memahami lebel “mahasiswa“? Lebel yang luar biasa, mengapa tidak nama pelajar ansich?, kata maha yang mengikuti kata siswa sangat substansi, filosofis, pada hakikatnya ada pesan sosial yang terungkap dari kata mahasiswa itu sendiri, bahwa mahasiswa tidak hanya dalam posisi terpelajar tetapi lebih dari itu mempunyai posisi tawar di masyarakat yang jauh lebih mulia, yakni memikul tanggungjawab untuk membebaskan rakyat dari ketertindasan dan kebodohan, ketika mahasiswa mampu memahami eksistensinya maka sebenarnya disitulah pesan yang ada pada nama tersebut. Eksistensi yang dimaksud adalah kemauan untuk berjuang meleburkan diri dengan rakyat dan mengangkat mereka dari penderitaan dan ketertindasan.

Ketika kita diberi kesempatan untuk belajar pada dunia perguruan tinggi, maka sebenarnya ada dua misi yang kita emban sekaligus menjadi tanggungjawab, yakni pertama misi individu, yaitu misi yang ada karena potensi kemampuan kapasitas intelgensi dan kesempatan rejeki yang belum dimiliki orang lain, kedua misi sosial yaitu misi yang ada karena orang lain tidak memiliki kesempatan yang sama dengan kita, maka secara tidak langsung mereka yang tidak memiliki kesempatan tersebut telah menitipkan harapan pada kita untuk membebaskan mereka dari kemiskinan pendidikan dan kemiskinan materil.

Berbicara tentang sejarah pergerakan mahasiswa maka kita harus memahami nafas dan nilai-nilai perjuangan mahasiswa yang menjadi pilar dasar konsistensi perjuangan mahasiswa dalam usaha mewujudkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdasarkan pada nilai-nilai luhur budaya bangsa dan hati nurani rakyat. Di banyak negara-negara pergolakan mahasiswa melawan kekuasaan yang cenderung otoriter, yang tidak memberikan kesempatan berkembangnya demokrasi dalam perkembangan kondisi sosial politik masih terus menerus hingga saat ini. Kehadiran perjuangan mahasiswa dalam berbagai macam aksinya selalu berpijak pada nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan. Mahasiswa sebagai kekuatan perubahan, melekatnya predikat ini, dikarenakan daya dukung (Kapasitas) berpikir dan bergerak yang dimiliki mahasiswa melebihi masyarakat biasa. Daya dukung tersebut nampak pada identitas mahasiswa dan sekaligus merupakan ciri khas. Ciri khas tersebut adalah:
1. Ketajaman analisis dan daya kritisnya (Intelektualitas).
2. Netralitas memperjuangkan kebenaran (Idealisme).
3. Sikap progresif (bergerak maju).

sikap berontak mahasiswa adalah refleksi keresahan dan kritis atas segala ketidakadilan, itu berarti mahasiswa secara tidak langsung telah memainkan peran untuk mengontrol dan menekan (preassure) kekuasaan agar tetap berada dalam rel kebenaran dan keadilan.

I. Gerakan Perjuangan Mahasiswa Pra Kemerdekaan

A. Gerakan mahasiswa era 1908
Pada masa ini pergolakan pemikiran dikalangan pemuda dan mahasiswa dimaksudkan sebagai upaya penyadaran kemanusiaan dan sosialisasi nasionalisme mereka yang terartiktulasikan melalui proses sosial atas ketimpangan-ketimpangan dari dampak kolonialisme. Pada kondisi demikian menjadi suatu bentuk motifasi/dorongan untuk merebut hak-hak mereka yang dirampok oleh keji dan kejamnya kekuasaan pemerintah kolonial.
Dari kondisi tersebut diatas menyebabkan kegelisahan intelektual sebagai sebuah tuntutan nurani bangsa, maka lahirnya sebuah wadah perjuangan (organisasi) Budi Utomo pada tanggal 29 Mei Tahun 1908, yang dipelopori oleh dr. Wahidin Sudirohusodo dan dr. Sutumo serta anggotanya banyak terdiri dari mahasiswa pendidkan Stovia (sekolah kedokteran di Jakarta) yang berorientasikan perjuangan pada upaya untuk menumbuhkan kesadaran bangsa dan sadar akan hak-hak kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan. Selain itu pada tanggal 22 Desmber 1908 juga mahasiswa Indonesia yang belajar di Belanda membentuk pula sebuah oragnisasi Indische Verreninging yang dimotori oleh Iwan Kusumasumantri, arahannya sebagai pusat diskusi yang kemudian berkembang menjadi wadah orientasi politik dan berganti nama dengan Indonesische Verreninging pada tahun 1922, selanjutnya menjadi perhimpunan Indonesia.


B. Gerakan mahasiswa era 1928
Pada era ini generasi 1928 berusaha menjawab tantangan zaman untuk memperjelas identitas suatu perjuangan. Langkah yang diambil oleh generasi 1928 ini menggalang kesatuan untuk mencairkan suasana Primodialisme yang masih kental dalam masyarakat dan merupakan suatu kelemahan dari sebuah perjuangan untuk meraih cita-cita bersama. Tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1928 lahirlah Sumpah Pemuda sebagai langkah awal level kesadaran akan semangat kebangsaan. Dalam Sumpah Pemuda itulah tercetus ikrar kesetiaan dan pengabdian: satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Sumpah pemuda ini banyak dipelopori oleh orang-orang yang tergabung dalam PPPI (Perhimpunan pelajar-pelajar Indonesia) yang didirikan pada tahun 1926.
II. Gerakan Perjuangan Mahasiswa Era Kemerdekaan (1945)
Semenjak Jepang menguasai Indonesia pada bulan Maret 1942 banyak institusi-institusi pendidikan yang menjadi basis kekuatan mahasiswa ditutup kecuali fakultas kedokteran, dan ternyata pemerintah Jepang lebih represif dan menindas dibandingkan pemerintah Belanda.. Akibatnya banyak mahasiswa yang keluar dari lembaga pendidikan dan kemudian sebagai wujud antisipasi terhadap misi gerakan mahasiswa membentuk forum-forum diskusi yang terdiri dari asrama menteng raya, asrama cikini, dan asrama kebon sirih. Dan dari forum-forum inilah melahirkan generasi 1945.
Mahasiswa pada era 1945 sangat berperan dalam menghantarkan bangsa Indonesia memproklamirkan dirinya sebagai bangsa yang merdeka secara independen (proclamation and Independent). Gerakan mahasiswa yang mengantarkan Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan yang antara lain yang diketuai oleh Khoirul Saleh dan Sukarni saat itu terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan M. Hatta, pada pukul 04.00 pagi segera memproklamasikan kemerdekaan RI setelah Jepang mengalah tanpa syarat kepada sekutu, yang dikenal dengan peristiwa Rengas Dengklok, dan tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Berita Kemerdekaan Indonesia tidak segera tersebar karena media penyiaran masih dikuasai oleh tentara Jepang, namun hal ini ntidak menyulitkan mahasiswa dan semua elemen bangsa untuk mensosialisasikan kemerdekaan RI kepada seluruh masyarakat Indonesia diseluruh penjuru nusantara.

III. Gerakan Perjuangan Mahasiswa Pasca Kemerdekaan.

A. Gerakan mahasiswa era 1966.
Gemuruh perlawanan yang terorganisir secara sistemik yang ditunjukan dengan aksi protes mahasiswa terhadap policy Presiden Soekarno dan merupakan reaksi atas kondisi bangsa akibat ulah dari PKI. Heroisme perlawanan gerakan mahasiswa 1966 merupakan suatu peristiwa sejarah sebagai bahan referensi untuk membangun persatuan bangsa. gerakan mahasiswa yang terealisasi dalam berbagai macam bentuknya yang syarat ide dan nilai sebagai “kekuatan pendobrak“ terhadap kekuatan otoriter yang menghantarkan peralihan dari orde lama ke orde baru. Gerakan mahasiswa 1966 ini yang salah satunya terwadahi oleh KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang didirikan pada tanggal 25 Oktober 1965.
Keberadaan KAMMI merupakan basis kekuatan ril dan bahkan kekuatan strategis dalam mengahdapi PKI. Gerakan mahasiswa 1966 ini disebut sebagai “60 hari yang menggetarkan Indonesia” Majalah Amerika Pace (1968), menyebutkan sebagai “60 hari yang mengguncang dunia“ . Demonstrasi mahasiswa hampir terjadi setiap hari dari bulan Januari hingga Maret 1966. Akhirnya tercetuslah TRITURA, pada tanggal 10 Januari 1966 dalam rapat akbar di Universitas Indonesia yang isinya:
1. Bubarkan PKI.
2. Bubarkan Kbinet Dwikora
3. Turunkan harga

B. Gerakan mahasiswa era 1974
Sebelum gerakan mahasiswa 1974 meledak sekitar tahun 70-an situasi dan kondisi bangsa sangat memprihatinkan, kesenjangan sosial, politik dan praktek-praktek korupsi merebak, harga yang melambung tinggi, inflasi yang tak tertahan dari sinilah orde baru mulai menampakan ciri khas yang beringas dan anti partisipasi. Dari kondisi yang demikian munculah reaksi-reaksi atas policy pemerintah yang tidak memihak kepada rakyat dan menambah penderitaan rakyat. Maka munculah “gerakan mahsiswa menggugat“ tepatnya pada tanggal 18 April 1974 mereka yang tergabung dalam komite anti korupsi (Mar’ie Muhammad, Akbar Tanjung, Arief Budiman, dan Fahmi Idris) datang menemui Soeharto dan berdialog mengenai masalah dan penyelewangan yang dilakukan oleh pemerintah pada waktu itu. Gerakan mahasiswa pada tahun 1974 merupakan wujud keprihatinan atas terjadinya kesenjangan sosial yang semakin meningkat dan juga akumulasi kekecewaan atas semua kebobrokan moral rezim orde baru.

C. Gerakan mahasiswa era 1978.
Kebobrokan orde baru mumbuat mahasiswa semakin semangat untuk melakukan berbagai macam aksi sehingga gerakan mahasiswa pada tahun 1978 berkaitan dengan terjadinya distrosi (kemunafikan) nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki dan penyimpangan-penyimpangan kekuasaan. Aksi protes terus bergejolak yang ditunjukan kepada Presiden Soeharto dan mengeluarkan sikap politik penolakan Soeharto sebagai calon Presiden RI, kemudian Soeharto dengan kekuatan rezim militernya bereaksi dengan melakukan pendudukan dikampus-kampus padahal kampus sebagi institusi yang punya otoritas sendiri sebagai lembaga otonom. Bahkan Soeharto mengeluarkan keputusan Nomor 156/U/1978 Tentang Normalisasi kehidupan kampus yang mengarahkan mahasiswa hanya pada kegiatan akademik, yang sangat membatasi ruang gerak mahasiswa.

D. Gerakan mahasiswa era Reformasi (1998-Sekarang)
Situasi Bangsa Indonesia yang semakin terpuruk dengan berbagai macam krisis multidimensional yang terjadi pada akhir tahun 1997, krisis moneter, inflasi yang cukup tinggi dan ancaman diintegrasi bangsa yang semakin memuncak, ditambah lagi penderitaan rakyat yang semakin nyata dengan berbagai macam kasus pelanggaran HAM yang tak tersentuh hukum semakin menambah ketidakpercayaan rakyat kepada penguasa.
Terpilihnya Soeharto sebagai presiden RI melalui sidang umum yang berlangsung tanggal 1-11 Maret dengan alasan yang terkesan mendapat legitimisi dari seluruh rakyat Indonesia, tidak bisa membawa/ merubah kondisi bangsa kearah yang lebih baik. Dalam kondisi demikian, krisis kepercayaan dari rakyat terhadap penguasa pun semakin nyata dan pergerakan aksi protes semakin gencar dilakukan oleh mahasiswa. Mahasiswa menggelar aksi keprihatinan atas situasi bangsa dan negara, dikampus-kampus, mahasiswa menuntut agar Soeharto turun dari kursi kepresidenan karena dianggap tidak mampu untuk mengembalikan stabilitas politik, ekonomi yang semakin tidak kondusif.

Akumulasi kekecewaan rakyat terhadap rezim orde baru yang otoriter dan sentralistik selama 32 tahun berkuasa meledak. Aksi yang dipelopori oleh mahasiswa sebagai kekuatan pendobrak pembaharuan sebagai wujud dari kesadaran intelektual dan moral terhadap kondisi bangsa. Gerakan mahasiswa yang tidak lagi percaya terhadap institusi pemerintah semakin memuncak.

Gerakan mahasiswa yang terjadi pada tanggal 12 Mei 1998 dengan adanya tuntutan reformasi, tuntutan mahasiswa tersebut pun diwarnai dengan jatuhnya korban pada mahasiswa, tidak hanya sampai disitu pada tanggal 18 Mei 1998 mahasiswa melakukan aksi pendudukan gedung MPR/DPR yang diprakarsai oleh FORKOT (Forum Kota) dan FKMJ (Forum Komunikasi Mahasiswa Jakarta) dan kelompok organisasi lainnya seperti HMI, PMII, PMKRI, FMN, GMNI. mahasiswa menuntut diadakannya pencabutan mandat MPR terhadap presiden Soeharto melalui sidang istimewa, dan akhirnya Soeharto pun turun dari kursi kepresidenan. Tragedi gerakan mahsiswa yang lebih dikenal dengan tragedi Semanggi pada tanggal 13 November 1998 merupakan suatu bukti sejarah konsistensi perjuangan mahasiswa.
Seiring bergulirnya waktu, agenda reformasi yang disuarakan mahasiswa dan masyarakat sejak 1998 hingga kini belum terealisasikan. Pergantian kepemimpinan negara sejak reformasi hingga terpilihnya SBY sebagai presiden ternyata tidak membawa sebuah perubahan yang signifikan, yang diharapkan dapat mensejahterahkan rakyat bangsa ini. Masih banyak policy (kebijakan) pemerintah yang lebih menyengsarakan rakyat dari pada mensejahterakan rakyat. Oleh sebab itu konsistensi perjuangan mahasiswa sangat diharapakan untuk perbaikan nasib bangsa dan negara menuju bangsa dan negara yang sejahtera.


Ingat perjuangan mahasiswa belum berakhir 
sampai disini Kawan!! Salam Perjuangan!!



PENEGAKAN HUKUM SEBAGAI WUJUD PELAYANAN KEADILAN BAGI MASYARAKAT (KAJIAN HUKUM PROGRESIF)

Oleh : Faisal Gani


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu faktor penting dalam mewujudkan atau mengiplementasikan cita-cita penegakan hukum adalah peran yang dilakukan oleh penegak hukum. Penegak hukum yang tidak mampu atau gagal menjalankan supremasi hukum sesuai dengan tuntutan masyarakat, dapat berdampak pada krisis kredibilitas atau ketidakperacayaan masyarakat terhadap aparatur hukum. Dimasa pemerintahan orde baru hukum dominan dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan kepentingan golongan. Akibatnya, pencari keadilan seringkali menjadi korbannya. Diera reformasi sekarang hukum harus dikembalikan pada eksistensinya dalam upaya mencari keadilan.

Aspek hukum merupakan bagian penting yang tidak dapat dipsahkan dari Negara Indonesia, sebab hukum sebagai tolak ukur dalam pembangunan nasional yang diharapkan mampu memberikan kepercayaan terhadap masyarakat secara luas dan melakukan pembaharuan secara menyeluruh diberbagai aspek. Undang Undang Dasar 1945 menyatakan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini mengandung makna bahwa hukum diNegara ini ditempatkan pada posisi yang strategis didalam konstelasi ketatanegaraan. Agar hukum sebagai suatu sistim dapat berjalan dengan baik dan benar didalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, diperlukan institusi-institusi yang penegak hukum sebagai instrument penggeraknya.

Mewujudkan suatu Negara hukum tidak saja diperlukan norma-norma hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai substansi hukum, tetapi juga diperlukan lembaga atau badan penggeraknya sebagai struktur hukum dengan didukung oleh prilaku hukum seluruh komponen masyarakat sebagai budaya hukum. Ketiga komponen ini, baik struktur hukum, substansi hukum maupun budaya hukum oleh LM. Friedman dikatakan sebagai susunan struktur hukum.

Penegakan hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan hukum dan sebagai komponen integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam rangka menegakan pilar-pilar Negara hukum. Tujuan yang hendak dicapai adalah mewujudkan tujuan nasional sebagaimana terpatri dalam Undang Undang Dasar 1945.

Penegakan hukum dalam kurun waktu yang lama dipandang sebelah mata oleh masyarakat, sebab hukum tidak mencerminkan keadilan dan kebenaran. Dalam perkembangannya banyak para pejabat pemerintah dan elit politik dinegeri ini telah banyak melakukan kejahatan dan pelanggaran serta penyalagunaan jabatan untuk sebuah kepentingan pribadi maupun golongan semata. Sebaliknya para penegak hukum tidak mampu menjalankan supremasi hukum yang menjadi tuntutan masyarakat, yang mengakibatkan lemahnya penegakan hukum yang berdampak pada ketridakpercayaan masyarakat terhadap para aparatur hukum.

Dari fenomena tersebut muncul ekspektasi agar hukum dapat ditegakan secara kokoh dan konsisten, karena ketidakpastian hukum dan kemerosotan wibawa hukum akan melahirkan krisis hukum. Terwujudnya supremasi hukum menghendaki komitmen seluruh komponen bangsa yang taat pada hukum. Hal ini juga mewajibkan kepada aparat penegak hukum untuk menegakkan dan menjamin kepastian hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran.

Pembaharuan dari penegakan hukum harus dimulai dari pemerintah, aparat hukum dan masyarakat, sebab tidak mudah untuk menyadarkan tentang arti dan makna hukum yang sesungguhnya, keberadaan lembaga-lembaga hukum dinegara Indonesia tidak bekerja secara maksimal karena disebabkan oleh faktor-faktor internal maupun eksternal, faktor-faktor tersebut akan menjadi kendala dalam proses penegakan hukum diIndonesia. Dalam perkembangannya, hukum selalu dituntut untuk maju sesuai dengan tuntutan masyarakat yang merupakan tantangan masa depan dalam membangun konstruksi hukum yang sesuai dengan cita-cita Negara hukum.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan diatas, maka penulis merasa perlu merumuskan permasalahan yang timbul dalam penulisan makalah ini. Adalah, Bagaimanakah upaya penegakan hukum untuk mencapai keadilan bagi masyarakat?

C. Tujuan Dan Manfaat

Dari rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan dan manfaat yang hendak dicapai dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Tujuan :
Untuk mengetahui Bagaimanakah upaya penegakan hukum untuk mencapai keadilan bagi masyarakat.

b. Manfaat :
Dapat memberi kontribusi pemikiran kepada pemerintah, dalam upaya penegakan hukum untuk mencapai keadilan bagi masyarakat. Dan dapat menambah pengetahuan serta pemahaman penulis secara pribadi, dan masyarakat pada umumnya akan pentingnya upaya penegakan hukum untuk mencapai keadilan bagi masyarakat.


BAB II
PEMBAHASAN
Setelah rezim silih berganti, justru penegakan hukum Indonesia semakin terpuruk dan suka atau tidak suka, keterpurukan hukum membawa dampak negatif terhadap semua sektor kehidupan lain. 

Sebelum kita berbicara mengenai bagaimana upaya penegakan hukum demi tercapainya keadilan bagi masyarakat, maka kita perlu mengetahui dulu apa defenisi dari hukum itu sendiri. Dalam bukunya The Behavior of Law Donald Black mengemukakan defenisi yang sederhana dan ringkas, menurut Black, hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah. Black mengartikan kontrol sosial ini sebagai aturan dan proses sosial yang mencoba mendorong perilaku yang baik dan berguna atau mencegah perilaku yang buruk. Ada undang-undang yang melarang pencurian, dan polisi, hakim, serta pengadilan mencoba menegakkannya, ini semuanya adalah contoh dari kontrol sosial yang jelas (atau yang diupayakan).

Dalam pembahasan tentang keterpurukan hukum, saya ingin berangkat dari konsep Lawrence Meir Friedman, tentang tiga unsur sistim hukum (There Elements of legal system). Ketiga unsur sistim tersebut adalah sebagai berikut :
a. Struktur (Structure).
b. Substansi (Substance).
c. Kultur hukum (Legal culture).

Persoalan maha berat yang sedang dihadapi di Indonesia adalah keterpurukan dalam ketiga unsur sistim hukum tersebut. Menurut Friedman, the structure of a system is its skeletal framework; it is the permanent shape, the institusional body of the system, the tough, rigid bones that keep the process flowing within bounds..” Jadi, struktur adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Di Indonesia misalnya, jika kita berbicara tentang struktur sistim hukum Indonesia, maka termasuk didalamnya struktur institusi-institusi penegakan hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Misalnya kita berbicara tentang hierarki peradilan umum di Indonesia, mulai dari yang terendah adalah pengadilan negeri hingga yang tertinggi adalah Mahkamah Agung Republik Indonesia. Juga termasuk unsur struktur adalah jumlah dan jenis pengadilan, yuridiksinya (jenis kasus yang berwenang mereka periksa serta bagaimana dan mengapa), dan jumlah hakim agung dan hakim lainnya. Jelasnya, struktur bagaikan foto diam yang menghentikan gerak (a kind of still photograph, which freezes the action). 

Peran struktur hukum yang dapat dikaji peranannya dalam penegakan hukum adalah lembaga atau badan penggerak dari hukum itu sendiri. Pelaksanaan penegakan hukum adalah lembaga hukum yang diciptakan oleh Negara berdasarkan undang-undang. Hal ini sebagai tolak ukur dalam penegakan hukum di Indonesia, yang juga harsu dibangun sebagaimana yang telah dicitakan oleh bangsa ini. Penegakan hukum oleh lembaga-lembaga struktural ini tergantung pada kemampuan, kejujuran (moral), keberanian, dan kemauan bekerja secara professional. 

Sistim lembaga peradilan yang ada belum mampu memberikan pelayanan hukum yang memuaskan, sehingga kepercayaan masyarakat mulai berkurang. Oleh karena itu perlu adanya perbaikan sistim kerja dan menejemen organisasi lembaga tersebut, yang perlu dibenahi serta dievaluasi kembali.

Selain lembaga peradilan, aparatur hukum merupakan penyumbang atas buruknya sistim hukum Indonesia. Citra aparatur hukum sebagai mafia peradilan, keadilan merupakan barang langka bagi masyarakat. Pengadilan lebih merupakan tempat mencari kemenangan berdasarkan kekuatan ekonomi dari tempat mencari keadilan. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah perkara pidana korupsi yang menyeret oknum penegak hukum ke kursi terdakwa. Ini merupakan gambaran wajah apratur penegak hukum kita yang mempunyai moralitas yang dapat dibeli dengan kekuasaan/uang. Faktor paling pokok yang menyebabkan Indonesia belum mampu mengoptimalkan penegakan hukum adalah faktor sosok penegak hukumnya (Ahmad Ali, 2002:90).

Permasalahan aparatur hukum terletak pada menejemen organisasi dan menejemen sumberdaya manusia yang meliputi masalah struktur, fungsi, dan mekanisme organisasiyang tidak efisien, sedangkan menejemen sumberdaya manusia terkait dengan upaya untuk mendapatkan aparat hukum yang berkualitas, tingkat pendidikan yang sesuai dan sistim evaluasi kerja yang benar, berdasarkan kompentensi dan prestasi.

Selanjutnya, menurut friedman, the substance is composed of subtansitive rules about how institutions should be have. Jadi, yang dimaksud dengan substansi menurut Friedman adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistim itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada didalam sistim hukum itu, mencakup keputusan yang mereka yang keluarkan aturan baku yang mereka susun. Substansi juga mencakup living law (hukum yang hidup), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang atau law books.

Di Indonesia, substansi merupakan output dari sistim hukum atau norma-norma hukum yang dipergunakan untuk mengatur tingkah laku manusia serta hak dan kewajiban manusia, yaitu mengatur pihak yang menegakan dan melaksanakan hukum maupun pihak yang diatur (masyarakat). Keberadaan hukum tertulis ini tergantung pula terhadap kualitas para pembentuknya, sebab dalam pembuatan hukum harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, apabila pembuat undang-undang (legal drafter) atau peraturan tertulis ini tidak berkualitas maka jangan diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan bahkan hanya mementingkan kepentingan penguasa dan merugikan masyarakat.

Akhirnya, pemahaman Friedman tentang the legal culture, system-their beliefs, values, ideas, and expectations. Jadi, kultur hukum menurut Friedman adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistim-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. “Legal Culture refers, then, to those parts of general culture-costums, opinions, ways of doing and thinking-that bend social forces to ward or away from the law and in particular ways”. Pemikiran dan pendapat ini sedikit banyak menjadi penentu jalannya proses hukum. Jadi dengan kata lain, kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Tanpa kultur hukum, maka sistim hukum itu sendiri tidak berdaya, seperti ikan mati yang terkapar dikeranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang dilaut.

Secara singkat, cara lain untuk menggambarkan ketiga unsur sistim hukum itu adalah sebagai berikut.
a. Struktur diibaratkan sebagai mesin.
b. Substansi adalah apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh mesin itu.
c. kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta memutuskan bagaimana mesin digunakan.


Pembangunan Hukum Indonesia Sebagai Upaya Penegakan Hukum Untuk Tercapainya Keadilan

Setelah puluhan tahun supremasi hukum yang didambakan oleh masyarakat tak kunjung datang. Bila dicermati, terlepas dari pemaknaan dan apapun konteks yang melandasiinya, reformasi sesungguhnya memberikan pemaknaan baru terhadap konsep yang ada, yaitu “pembangunan” (termasuk di dalamnya bidang penegakan hukum). Pembangunan menurut kamus besar Bahasa Indonesia dirumuskan sebagai suatu proses, perbuatan, cara membangun. Istilah pembangunan hukum sebagai upaya penegakan hukum demi tercapainya keadilan dinegeri ini, bukan merupakan istilah baru atau sebatas retorika dan wacana semata. Sejak lama the founding fathers pembentuk negeri ini telah mencanangkan pembangunan hukum, sebagai hal yang mendasar sejalan dengan terbentuknya negara yang sebelumnya diwarnai oleh nuansa kolonialisme penjajah bahkan dalam rentang waktu relatif berabad-abad lamanya.

Pasal 1 ayat (3) Bab I, amandemen Undang-Undang Dasar 1945, menegaskan kembali bahwa ‘Negara Indonesia adalah Negara Hukum’. Artinya, bahwa negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak berdasar atas kekuasaan (machtstaat), dan pemerintahan berdasarkan sistim konstitusi (hukum dasar), bukan absolutisme (kekuasaan yang tdak terbatas). Sebagai konsekuensi dari pasal 1 ayat (3) Amandemen Undang-undang Dasar 1945, 3 (tiga) prinsip dasar wajib dijunjung oleh setiap warga negara yaitu supremasi hukum; kesetaraan dihadapan hukum; dan penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak betentangan dengan hukum.

Arah kebijkan pembangunan hukum dimulai dengan dirumuskannya Repelita I tentang hukum, yang kemudian hukum diberi fungsi sebagai pendorong bagi usaha-usaha baru dalam masyarakat yang menunjang pembangunan. Fungsi ini dipertegas lagi dalam rumusan Repelita II dalam ketetapan MPR Nomor IV/MPR/Tahun 1973. Setelah itu berdasarkan TAP MPR Nomor II/MPR/Tahun 1983, maka munculah rumusan pembangunan hukum Indonesia yang tertuang dalam rumusan Repelita III. Kemudian pada rumusan Repelita IV berdasarkan TAP MPR Nomor II/MPR/Tahun 1993, rumusan pembangunan hukum tidak terjadi perubahan, hanya terdapat penambahan yaitu upaya yang harus dilakukan yaitu tentang penyuluhan hukum. Kemudian arah kebijakan pembangunan hukum Indonsia diamanatkan dalam rumusan GBHN RI 1999-2004. Rumusan terakhir berkaitan dengan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN 2004-2009) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 dinyatakan, pembenahan sistim hukum dan politik hukum dalam lima tahun mendatang diarahkan pada kebijakan untuk memperbaiki substansi (materi) hukum, struktur (kelembagaan) hukum, dan kultur (budaya) hukum, melalui upaya :
a. menata kembali substansi hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan tertib perundang-undangan dengan memperhatikan asas umum dan hirarki perundang-undangan: dan menghormati serta memperkuat kearifan lokal dan hukum adat melalui pemberdayaan yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaharuan materi hukum nasional.
b. Melakukan pembenahan struktur hukum melalui pemguatan kelembagaan dengan meningkatkan profesionalisme hakim dan staf peradilan serta kualitas sistim peradilan yang terbuka dan transparan; menyederhanakan sistim peradilan, meningkatkan transparansi agar peradilan dapat diakses oleh masyarakat dan memastikan bahwa hukum diterapkan dengan adil dan memihak pada kebenaran; memperkuat kerifan lokal dan hukum melalui pemberdayaan yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaharuan materi hukum nasional.
c. Meningkatkan budaya hukum antara lain melalui pendidikan dan sosialisasi berbagai peraturan perundang-undangan serta perilaku keteladanan dari kepala negara dan jajarannya dalam mematuhi dan mentaati hukum serta penegakan supremasi hukum.

Dengan ragam rumusan di atas, pembangunan dibidang hukum sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru. Sejak pernyataan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan kolonial Belanda, telah dilakukan berbagai upaya ke arah pembaharuan hukum, baik dari segi sistim, teori, asas, fungsi dan tujuan, peraturan perundang-undangan, sampai dengan penerapan dan penegakannya. Pembaharuan itu didasarkan pada hakekat dari hukum itu sendiri sebagai suatu peraturan yang berlakunya harus memenuhi persyaratan filosofis, politis, yurudis, dan sosiologis. Secara filosofis, hukum itu harus sesuai dengan sistim, teori, asas-asas, fungsi dan tujuan hukum. Dari segi politis, hukum itu harus merupakan buatan dari pemerintahan Negara merdeka dan bukan peninggaln kolonial. Secara yuridis pembuatannya harus memenuhi prosedur pembuatan undang-undang dan tata urutan perundang-undangan yang ada. Sedangkan dari segi sosiologis, hukum diterima dan dipatuhi masyarakat. 


Produk Hukum Progresif (Sebuah Model Alternatif Dalam Pembaharuan dan Penegakan Hukum)

Salah satu tujuan yang hendak dicapai dalam pembangunan hukum adalah pembaharuan peraturan perundang-undangan sekaligus penegakan hukumnya sehingga akan menampakan secara jelas mengenai bagaimanakah hukum kita di masa depan. Hal demikian menjadi mutlak, sebab tanpa adanya arah yang jelas mengenai bagaimanakah perubahan yang di inginkan oleh masyarakat sebagai suatu upaya mengatasi krisis ekonomi dan hukum dalam melanjutkan pembangunan ke masa depan, maka perubahan itu bisa sekedar hanya “ganti baju” dari yang lama ke yang baru, tetapi substansinya masih tetap sama, atau peubahan tak terkendali, yang mungkin akan mengakibatkan tujuan yang di iginkan tidak dapat tercapai sama sekali. Oleh karena itu, reformasi hukum tidak sekedar mengadakan yang baru, nelainkan pula perlu adanya pengembangan moralitas hukum sebagi arah dari perubahan sehingga dapat mewujudkan penyelenggaraan hukum yang “benar-benar” hukum dan tidak kepada hukum yang “bukan hukum”.

Para penganut hukum positif (kaum positivisme) yang memandang hukum sebagai sistim logika yang tertutup, tidak memasukan pertimbangan moral ke dalam hukum. Apabila hukum dipandang sebagai keseluruhan perintah, sebagaimana diajarkan oleh John Austin, maka dapat dikatakan bahwa dalam hukum tidak ada norma moral, karena antara keduanya kontradiktif.

Hukum adalah suatu sarana untuk orang berkuasa atas nama rakyat mengatur rakyatnya mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan dengan paksaan, jadi yang penting adalah “kekuasaan” dan cara-cara melaksanakan kekuasaan itu. Sedangkan moral lebih banyak menilai tentang baik buruknya seseorang. Apabila cara-cara memperoleh dan menggunakan kekuasaannya baik, maka orang tersebut dapat dikatakan bermoral, tetapi sebaliknya bila dilakukan secara buruk, ia dikatakan tidak bermoral (K. Bertens,1994), sehingga dapat dikatakan tidak ada moralitas dalam kekuasaan. Tetapi, meskipun demikina keduannya kontradiktif ternyata dapat berjalan bersama-sama. Sebagai contoh di Amerika Serikat, kekuasaannya dalam bentuk check and balance yang transparan memang memberi kesempatan kepada semua pihak (termasuk pihak yang tidak berkuasa) untuk menguji apakah cara-cara memperoleh dan menggunakan kekuasaan sesuai tidak dengan moral rakyat Amerika. Apabila tidak sesuai, meskipun perbutaan tersebut belum tentu merupakan pelanggaran hukum dapat menjadi kendala dalam memperoleh dan menggunakan kekuasaan.

Apakah yang dimaksud dengan moralitas sehingga aspek ini berperan sangat penting dalam penyelenggaraan hukum dan kekuasaan suatu Negara. Menurut Franz Magnis Soesono (1990), ajaran moral adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan (lisan/tertulis) tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Oleh karena itu, menurut ajaran moral hukum (dalam bentuk peraturan perundangan atau keputusan lainnya) adalah bagian dari ajaran moral yang mengatur tentang suruhan, larangan, dan kebolehan untuk berbuat itu dilakukan atau tidak dilakukan karena ditentukan oleh hukum.

Dengan demikian, apabila refomasi hukum diarahkan pada pengembangan moralitas hukum akan mewujudkan kesadaran hukum masyarakat yang betanggungjawab, yang percaya bahwa hukum yang ada adalah “hukum yang hukum” dan bukan “hukum yang bukan hukum”, yaitu hukum yang hanya sekedar diadakan untuk kepentingan pihak yang berkuasa, tetapi bukan hukum yang sarat dengan nilai-nilai moral.


Upaya Penegakan Hukum Demi Tercapainya Keadilan Bagi Masyarakat

Keadilan menurut Jhon Rawl, bahwa keadilan itu tidak hanya meliputi moral tentang individunya, tetapi juga mempersoalkan mekanisme dari pencapaian keadilan itu sendiri. Pasca reformasi 1998, Indonesia kini berada pada masa transisi. Mencermati carut marutnya penegakan hukum masa lalu dan didorong niat untuk memberikan alternatif dalam memikirkan secara komperhensif jaklan keluar dari keterpurukan Indonesia sekarang ini, Satjipto Raharjo (2004) secara lebih ekstrim (bahkan hal ini telah dirintisnya melalui artikel yang pernah ditulisnya mengenai betapa pentingnya pembangunan hukum) yang berproduk progresif.

Salah satu alasan yang dikemukakan adalah bahwa kita tak bisa lagi mempercayakan penyelenggaraan hukum negeri ini dengan cara-cara konvensional seperti selama ini. Menjalankan hukum dengan gaya business as usual ternyata tidak bisa menolong penyelamatan bangsa ini. Kita telah gagal membangun supremasi hukum. Dunia internasional bahkan telah memberi “rapor” penegakan hukum yang sangat buruk. Telah cukup lama kita mendengar Indonesia sebagai salah satau negara terkorup didunia. Namun koruptornya tak pernah tetangkap.

Gagasan hukum progresif bertolak dari dua komponen basis dalam hukum, yaitu peraturan dan perilaku (rules and behavior). Di sini, hukum ditempatkan sebagai aspek perilaku namun juga sekaligus sebagai peraturan. Peraturan akan membangun suatu sistim hukum positif, sedangkan perilaku atau manusia akan menggerakan peraturan dan sistim yang telah (akan) terbangun itu.

 Apabila dicermati, pemikiran menuju produk hukum progresif ala Satjipto Rahardjo lebih menekankan pada aspek dehumanisasi terhadap produk-produk hukum yang seyogianya akan disusun atau dibangun kelak kemudian hari. Hukum harus dikomposisikan untuk manusia bukan sebaliknya. Dengan demikian, manusia dikomposisikan pada sebuah titik sentral hukum, sehingga berarti; kebahagiannya, kesejahteraannya, rasa keadilannya dan sebagainya menjadi pusat dari kepedulian hukum. Hukum hanya menjadi sarana untuk menjamin dan menjaga berbgai kebutuhan manusia. Apabila hukum tidak mampu mencapai jaminan demikian, maka harus dilakukan dan harus ada suatu upaya kongrit terhadap hukum itu, termasuk dilakukan penataan dan penyusunan kembali.

Hukum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai (values) yang berlaku dalam suatu masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa itu merupakan pencerminan dari nilai-nilaiyang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminann dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu.

Kalau dinyatakan demikian, adanya tuntutan reformasi (termasuk bidang hukum) apakah yang sesungguhnya terjadi. Apakah ada sesuatu dalam pembangunan hukum kita selam ini yang salah?. Penguatan masyarakat bawah seolah melahirkan kesepakatan baru, yakni rakyat memiliki posisi menentukan dalam pelaksanaan pembangunan khususnya pembanguan hukum, bukan sebaliknya hanya merupakan objek marjinalisasi. Nilai-nilai keadilan kini dipersoalkan sudakah menjadi landasan penyusunan kaidah-kaidah hukum selama ini. Tuntutan tanah untuk rakyat, bukan tanah untuk pembangunan yang diatasnya berdiri gedung pusat-pusat perbelanjaan, hilangnya akses petani terhadap tanah, barangkali sebagian persoalan-persoalan ini mewakili termarjinalisasinya kaum tani yang secara umum cenderung terjadi di beberapa daerah secara merata sejak beberapa dekade terakhir.

Dalam pembaharuan hukum di Indonesia menunjukan adanya stagnasi dalam penerapan teori-teori hukum yang ada, dimana terpaku pada teori-teori formalisme/positivisme baik yang dikembangkan oleh Jhon Austin (hukum sebagai perintah yang memaksa dari pengusa yang berdaulat) dan teori stufenbau Hans Kelsen (tata urutan peraturan perundang-undangan). Akibatnya hukum yang ada di Indonesia adalah hukum yang legalistik. Hukum yang legalistik ini telah sejak lama menimbukan persepsi yang keliru di kalangan orang-orang non hukum, yang mana hukum dianggap sebagai salah satu kendala pembangunan, tidak dapat sejalan dengan kemajuan kegiatan masyarakat di bidang ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sebagainya.

Timbulnya pandangan demikian karena dalam pandangan hukum yang legalistik, hukum hanya diindetikkan dengan undang-undang atau hukum sama dengan undang-undang. Para penganut ajaran legalisme berkeyakianan bahwa setiap masalah hukum dapat diselesaikan melalui perundang-undangan, sehingga konsekuensinya masalah itu dianggap telah selesai apabila sudah ada undang-undang yang mengaturnya, sekalipun secara faktual masalah itu masih tetap berlangsung.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Cita-cita penegakan hukum sudah lama menjadi dambaan masyarakat Indonesia, sayangnya obsesi ini tidak mudah diwujudkan, karena tidak sedikit tantangan dan hambatan yang menghalanginya. Dalam upaya penegakan hukum di Indonesia maka semua komponen unsur-unsur hukum, baik itu struktur, substansi, maupun budaya harus bisa berjalan dan bekerja sesuai dengan porsi dan aturan yang berlaku. Sehingga konstruksi hukum Indonesia yang dicita-citakan bahwa hukum sebagai wujud pelayanan keadilan bagi masyarakat dapat diwujudkan. Reformasi di bidang hukum memang membutuhkan waktu yang lama, dan dalam pelaksanaannya merupakan masalah yang rumit dan kompleks, yang tidak mungkin dapat diatasi dengan memperbaiki salah satu bagian dari unsur-unsur hukum. Memperbaikinya harus secara keseluruhan dan tak dapat ditunda lagi. Perbaikan itu meliputi tahap formulasi (pembuatan peraturan perundang-undangan), tahap aplikasi (penerapan hukum dan tahap eksekusi (penegakan hukum).

Disamping itu, upaya terhadap pembaharuan hukum juga perlu terus dikembangkan melalui kegiatan-kegiatan non hukum yang mendukung penyelenggaraan hukum, seperti peningkatan pengetahuan dan kepatuhan hukum, kesadaran hukum, partisipasi dan peran serta masyarakat dalam penegakan hukum, serta perlu ditingkatkan pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan hukum sesuai dengan hak asasi manusia.

Hukum progresif mengandalkan pegangan pada paradigma “hukum untuk manusia”. Manusia merupakan simbol bagi kenyataan dan dinamika kehidupan. Hukum itu memandu dan melayani masyarakat. Hukum akan dirasakan keberadaannya oleh manusia, manakala hukum mampu berperan dalam tugasnya memandu serta melayani masyarakat. 

Dimasa transisi, memang terbuka keleluasaan dalam menafsirkan hukum. Namun, sekali lagi harus diwaspadai bahwa meski ada keleluasaan dalam produk hukum progresif, improvisasi terhadap produk hukum perlu diantisipasi. Penafsiran itu dilakukan hanyalah sebagai sarana untuk menjamin dan menjaga berbagai kebutuhan manusia, karena pada tataran makro, makna manusia dalam konteks ini adalah manusia dalam kehidupan bersama secara sosial (zoon politicoon).

B. Saran
Sudah saatnya kultur penyelengaraan hukum yang terlalu berkosentarsi pada sistim hukum sebagai satu-satunya bangunan peraturan tanpa memasukan dan memformulasikan unsur perilaku didalamnya harus ditinggalkan. Hukum tidak dapat lagi ditempatkan sebagai sebuah dokumen absolut dan otonom. Kreativitas manusia penegak hukumnya harus diberikan kesempatan dalam melakukan improvisasi pada penegakan hukum dan pembangunan hukum.

Disamping itu, upaya terhadap pembaharuan hukum juga perlu terus dikembangkan melalui kegiatan-kegiatan non hukum yang mendukung penyelenggaraan hukum, seperti peningkatan pengetahuan dan kepatuhan hukum, kesadaran hukum, partisipasi dan peran serta masyarakat dalam penegakan hukum, serta perlu ditingkatkan pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan hukum sesuai dengan hak asasi manusia.

Sudah saatnya kultur penyelengaraan hukum yang terlalu berkosentarsi pada sistim hukum sebagai satu-satunya bangunan peraturan tanpa memasukan dan memformulasikan unsur perilaku didalamnya harus ditinggalkan. Hukum tidak dapat lagi ditempatkan sebagai sebuah dokumen absolut dan otonom. Kreativitas manusia penegak hukumnya harus diberikan kesempatan dalam melakukan improvisasi pada penegakan hukum dan pembangunan hukum.





DAFTAR PUSTAKA
Saleh, Abdulrahman. (2005). Penegakan Hukum Sebagai Komponen Integral Pembangunan     Nasional, Komisi Hukum Nasional (KHN) Jakarta, Vol.5. No.1. Mei-Juni.  

Ali, Ahmad. (2002). Keterpurukan Hukum di Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Manan, Bagir Peningkatan Peranan Penegakan Hukum, Komisi Hukum Nasional (KHN). (2005). Jakarta, Vol.4.No.6. Maret-April. 

Arief Nawawi, Barda. (2001). Masalah Penegakan Hukum dan Penaggulangan Kejahatan. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Friedman, Lawrence M. (2002). Sistim Hukum Amerika. Unsur, Fungsi, Dan Masa Depan Common Law. Jurnal Keadilan Vol.2.No.1.

Kusumaatmaja, Mochtar. (2002). Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan. Alumni, Bandung.

Rasjidi, Lili dan Ira Thania rasjidi. (2007). Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum. PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Rahardjo, Satjipto (2007). Membedah Hukum Progresif. Kompas, Jakarta.

Wahid, Salahudin. (2003). Basmi korupsi jihad Akbar Bangsa Indonesia. Pustaka Indonesia Satu dan Center For Good Governance Studies, Jakarta.

Soekanto, Soerjono. (2004). Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Raja Grafindo, Jakarta. 







ANALISIS PASAL 82 DAN PASAL 83 UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS
(Berdasarkan Teori Budenheimer)

Oleh: Faisal Gani


Pendahuluan

Bekerja merupakan kodrat manusia, sebagai kewajiban dasar manusia. Manusia dikatakan mempunyai martabat apabila dia mampu bekerja keras. Dengan bekerja manusia dapat memperoleh hak dan memiliki segala apa yang diinginkannya. Bekerja merupakan kegiatan fisik dan pikir yang terintegrasi. Pekerjaan dapat dikalisifikasikan menjadi empat unsur, yaitu :
a. kemampuan., yaitu fisik dan intelektual
b. Kelangsungan, yaitu sementara dan tetap (terus-menerus)
c. Lingkup, yaitu umum dan khusus (spesialisasi)
d. Tujuan, memperoleh pendapatan dan tanpa pendapatan .

Dengan demikian pekerjaan dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu :
a. Pekerjaan dalam arti umum, yaitu pekerjaan apa saja yang mengutamakan kemampuan fisik, baik sementara atau tetap dengan tujuan memperoleh pendapatan (upah).
b. Pekerjaan dalam arti tertentu, yaitu pekerjaan yang mengutamakan kemampuan fisik atau intelektual, baik sementara atau dengan tujuan pengabdian.
c. Pekerjaan dalam arti khusus, yaitu pekerjaan bidang tertentu, mengutamakan kemampuan fisik dan intelektual, bersifat tetap, dengan tujuan memperoleh pendapatan.

Dari tiga jenis pekerjaan tersebut, profesi adalah pekerjaan yang termasuk Pekerjaan dalam arti khusus, yaitu pekerjaan bidang tertentu, mengutamakan kemampuan fisik dan intelektual, bersifat tetap, dengan tujuan memperoleh pendapatan. Dengan kriteria sebagai berikut :
1. Meliputi bidang tertentu saja (spesialisasi)
2. Berdasarkan keahlian dan ketrampilan khusus
3. Bersifat tetap atau terus-menerus
4. Lebih mendahulukan pelayanan daripada imbalan (pendapatan)
5. Bertanggungjawab terhadap diri sendiri dan masyarakat
6. Terkelompok dalam suatu organisasi .

Profesi merupakan suatu konsep yang lebih spesifik dibandingkan dengan pekerjaan. Dengan kata lain pekerjaan memiliki pengertian yang lebih luas dari pada profesi. Suatu profesi adalah pekerjaan, tetapi tidak semua pekerjaan adalah profesi . Banyak dari aspek-aspek terpenting dari tatanan masyarakat untuk sebagian besar bergantung pada hubungan berfungsinya profesi-profesi dengan baik. Kegiatan pengembangan dan penerapan ilmu dilaksanakan secara professional .

Roscoe Pound, seorang filsuf hukum tokoh aliran Sosiological Jurisprudence yang terkenal dengan gagasannya tentang hukum sebagai “a tool for social engineering”, pandangannya dalam pengertian profesi pada dasarnya sejalan dengan Parsons. Menurut Parsons, Profesional bukanlah kapitalis, pekerja (buruh), administrator pemerintah, birokrat, ataupun patani pamilik tanah. Profesi mensyaratkan pendidikan teknik yang formal, dilengkapi dengan pengujian para calon pengemban profesi, masyarakat akan memandang para pengemban profesi sebagai seorang yang mewujudkan pelayanan kepada masyarakat daripada mencari keuntungan bagi diri sendiri.

Daryl Koehn mengatakan bahwa kata profesi itu sendiri berasal dari kata Profess bersal dari kata yunani Prophaino yang berarti “menyatakan secara public”. Kata yunani Prophaino itu menjadi kata Professio dalam bahas latin, suatu istilah yang diterapkan pada pernyataan publik yang dibuat orang yang dimaksud menduduki jabatan kepercayaan publik . 

Dari uraian-uraian di atas dapat kita tarik rumusan pengertian profesi, bahwa profesi adalah : pekerjaan tetap berupa pelayanan (service occupation). Pelaksanaannya dijalankan dengan menerapkan pengetahuan ilmiah dalam bidang tertentu, dihayati sebagai suatu panggilan hidup serta terikat pada etika umum dan etika khusus (etika profesi) yang bersumber pada semangat pengabdian terhadap sesama manusia. Dari pengertian ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa profesi adalah suatu fungsi kemasyarakatan tertentu yang perwujudannya mensyaratkan disiplin ilmu tertentu. Ada 5 (lima) sistim okupasi (pekerjaan) yang dapat diklasifikasikan sebagai profesi dalam pengertian ini, yakni : Keimanan (ulama), Kedokteran, Hukum, Jurnalistik dan Pendidikan. Kelimanya berkaitan langsung dengan martabat manusiawi dalam kautuhannya, berupa relasi dengan yang transenden, kepastian hukum yang berkeadilan, informasi yang relevan, dan solidaritas yang dinamis kreatif. Dan salah satu dari profesi hukum adalah notaris.


Pembahasan

Masyarakat awam tidak mampu menilai karya professional. Karena itu, dibutuhkan pengendalian diri secara individual bagi para pengemban profesi untuk tetap berpegang kuat pada nilai-nilai dan norma-norma yang menjiwai tugas para pengemban profesi. Nilai-nilai dan norma-norma ini kemudian diinstitusionalkan dalam struktur dan kultur dari profesi yang bersangkutan, sehingga pengendalian secara individu itu diperkuat oleh pengawasan formal dan informal oleh komunitas sejawat. Sebagai imbalan masyarakat memberikan privilese, dan melindungi otonomi profesi terhadap pengawasan dan campur tangan masyarakat awam.

profesi adalah merupakan kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan kegiatan yang memerlukan ketrampilan dan keahlian tinggi guna memenuhi kebutuhan yang rumit dari manusia, didalamnya pemakaian dengan cara yang benar akan ketrampilan dan keahlian tinggi, hanya dapat dicapai dengan dimilikinya penguasaan pengetahuan dengan ruang lingkup yang luas, mencakup sifat manusia, kecendrungan sejarah dan lingkungan hidupnya, serta adanya disiplin etika yang dikembangkan dan diterapkan oleh kelompok anggota yang menyandang profesi tersebut.

Notaris sebagai salah satu dari profesi di bidang hukum, mempunyai kode etik yang dibentuk oleh organisasi notaris. Salah satu organisasi notaris yang berbadan hukum di Indonesia adalah Ikatan Notaris Indonesia (INI), INI merupakan salah satu wadah pemersatu bagi notaris di Indonesia. Sebagai salah satu wadah organisasi notaris di Indonesia, Ikatan Notaris Indonesia (INI) telah membuat Kode Etik Notaris Indonesia, sebagai kaidah moral notaris dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang pejabat umum yang mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik.

Suatu kode etik profesi tidak terlepas dari tujuan suatu organisasi. dalam Bab III Anggaran dasar Ikatan Notaris Indonesia (INI) disebutkan bahwa tujuan perkumpulan adalah (pasal 7 Anggaran dasar INI) :
1. Menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan serta menciptakan kepastian hukum.
2. Memajukan dan mengembankan ilmu hukum pada umumnya dan ilmu serta pengetahuan dalam bidang notariat pada khususnya.
3. Menjaga keluhuran martabat serta meningkatkan mutu Notaris selaku Pejabat Umum dalam rangka pengabdiannya kepada nusa, bangsa dan negara serta Tuhan Yang Maha Esa.
4. Memupuk dan mempererat hubungan silaturahmi dan rasa persaudaraan serta rasa kekeluargaan antara sesama anggota untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan serta kesejahteraan segenap anggotanya. 

Organisasi notaris dan kode etik profesi notaris diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, pada BAB X pasal pasal 82 dan pasal 83.
Dalam pasal 82, disebutkan bahwa :
(1) Notaris berhimpun dalam satu wadah Organisasi Notaris.
(2) Ketentuan mengenai tujuan, tugas, wewenang, tata kerja, dan susunan organisasi ditetapkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
Dalam pasal 83, disebutkan bahwa :
(1) Organisasi Notaris menetapkan dan menegakan Kode Etik Notaris.
(2) Organisasi Notaris memiliki buku daftar anggota dan salinannya disampaikan kepada Menteri dan Majelis Pengawas.

Dari kedua pasal tersebut, menunjukan bahwa pemerintah memberikan perhatian yang cukup besar terkait dengan profesi notaris, dimana notaris harus mampu menjalankan tugasnya sebagai seorang pejabat umum yang mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik sesuai dengan kode etik yang dibuat oleh organisasi notaris, tanpa campur tangan dari pemerintah. 

Regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah yang terdapat dalam pasal 82 dan pasal 83 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, dimana kewenangan organisasi notaris yang indenpenden dalam membuat kode etik, sebagai acuan kaidah moral bagi setiap anggota organisasi notaris tersebut, sehingga tujuan dari profesi notaris, sebagai pejabat umum yang melayani masyarakat dalam pembuatan akta otentik dapat berjalan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, dan moralitas notaris sebagai wujud aplikasi dari kode etik organisasi notaris dapat menjadi contoh teladan bagi profesional lainnya.
 

Kajian Berdasarkan Teori Budenheimer

Dari uraian diatas maka, jika kita menggunakan teori Budenheimer, yang salah satu teorinya menyatakan ‘’The question whether ethical value judgment have any bearing on the validity of positive law’’ bahwa ’’apakah pertimbangan nilai etis (keadilan) mempunyai muatan keabsahan dalam hukum positif.

Dari bunyi pasal 82 ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris tidak mengandung nilai-nilai keadialan, dimana dalam pasal tersebut pemerintah hanya mengakui satu wadah organisasi notaris saja, padahal di Indonesia terdapat lebih dari satu organisasi notaris, hal ini mencerminkan adanya sikap represif dari pemerintah yang memaksakan bahwa harus ada satu organisasi notaris saja. 

Dengan adanya sikap represif dari pemerintah tersebut maka nilai-nilai keadilan sulit untuk diterapkan. Karena keinginan dari para notaris diluar Ikatan Notaris Indonesia (INI) untuk membentuk wadah organisasi notaris baru terhambat, hal itu berarti pemerintah telah membatasi hak asasi manusia, sebagaimana yang diatur dalam dalam pasal 28C ayat 2 (dua) Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi, Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.

Tindakan represif pemerintah yang mengharuskan harus adanya satu wadah organisasi notaris, merupakan dampak dari adanya stagnasi dalam penerapan teori-teori hukum yang ada, dimana Indonesia terpaku pada teori-teori formalisme/positivisme baik yang dikembangkan oleh Jhon Austin (hukum sebagai perintah yang memaksa dari pengusa yang berdaulat) dan teori stufenbau Hans Kelsen (tata urutan peraturan perundang-undangan). Akibatnya hukum yang ada di Indonesia adalah hukum yang legalistik. Hukum yang legalistik ini telah sejak lama menimbukan persepsi yang keliru di kalangan orang-orang non hukum, yang mana hukum dianggap sebagai salah satu kendala pembangunan, tidak dapat sejalan dengan kemajuan kegiatan masyarakat di bidang ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sebagainya.

Timbulnya pandangan demikian karena dalam pandangan hukum yang legalistik, hukum hanya diidentikkan dengan undang-undang atau hukum sama dengan undang-undang. Para penganut ajaran legalisme berkeyakinan bahwa setiap masalah hukum dapat diselesaikan melalui perundang-undangan, sehingga konsekuensinya masalah itu dianggap telah selesai apabila sudah ada undang-undang yang mengaturnya, sekalipun secara faktual masalah itu masih tetap berlangsung.

Demikian juga dengan apa yang menjadi polemik terkait dengan organisasi notaris, dimana seharusnya pemerintah harus bisa melihat apa yang berkembang dalam masyarakat, karena hukum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai (values) yang berlaku dalam suatu masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Sehingga keinginan sebagian para notaris untuk mendirikan organisasi notaris diluar Ikatan Notaris Indonesia (INI) harus di akomodir oleh pemerintah, bukan dilarang/dihambat.

Dari bunyi pasal 83 ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, ini mengandung nilai-nilai kebenaran, dimana sudah menjadi kewajiban, bahwa setiap notaris harus melaksanakan apa yang terdapat dalam kode etik suatu organisasi notaris, tempat notaris bergabung.

Walaupun berbeda organisasi tetapi setiap organisasi notaris mempunyai kode etik, sehingga kode etik tersebut wajib dijunjung tinggi, sebagai kaidah moral bagi setiap anggota organisasi notaris tersebut, sehingga tujuan dari profesi notaris, sebagai pejabat umum yang melayani masyarakat dalam pembuatan akta otentik dapat berjalan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Dalam perkembangannya organisasi notaris seperti apa yang disebutkan dalam Bab X Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, dimana organisasi notaris mempunyai kewenangan untuk membuat kode etik sebagai kaidah moral notaris dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang pejabat umum yang mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik, mengalami berbagai macam polemik. Dimana ada beberapa organisasi notaris yang kemudian dibentuk sebagai wadah aspirasi para notaris yang tidak tergabung dengan Ikatan Notaris Indonesia (INI), hal ini dikarenakan adanya multitafsir terhadap buyi pasal 82 ayat satu (1). Dari beberapa organisasi yang terbentuk, maka masing-masing organisasi notaris tersebut mempunyai kode etik yang berbeda, tetapi yang diharapkan walaupun kode etik setiap organisasi berbeda tetap bertujuan sebagai kaidah moral notaris dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang profesional pejabat umum yang mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik.

Ada beberapa hal yang menjadi akar permasalahan dari polemik adanya beberapa organisasi notaris yang mempunayi kode etik yang berbeda diantara satu organisasi notaris dengan organisasi lainnya :
 1. Dalam pasal 82 dan pasal 83 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, dimana dalam kedua pasal tersebut tidak menyebutkan secara eksplisit organisasi notaris yang diakui oleh pemerintah adalah organisasi notaris yang mana. Karena di Indonesia terdapat lebih dari satu organisasi notaris, sehingga hal ini dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda (multitafsir) terhadap bunyi kedua pasal tersebut.
2. Negara dalam hal ini pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, harus secara tegas menentukan organisasi notaris mana yang diakui, sehingga kinerja organisasi notaris tersebut dapat berjalan dan melaksanakan fungsinya sebagaimana yang diharapkan.
3. Munculnya pendapat dari para pendiri organisasi notaris yang baru, bahwa jika hanya satu organisasi notaris maka mempermudah pemerintah/penguasa untuk mengintervensi/menyetir organisasi tersebut, demi kepentingan pemerintah/penguasa. Dan hal tersebut telah membatasi hak asasi manusia seperti yang disebutkan dalam pasal 28C ayat 2 (dua) Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi, Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. 
4. Sebagai pejabat umum yang melayani kepentingan masyarakat, maka seorang notaris harus patuh dan melaksanakan apa yang terdapat dalam kode etik notaris sebagai kaidah moral yang dibuat oleh organisasi notaris tersebut. 
5. Dengan adanya banyak organisasi notaris, maka setiap notaris diharapkan dapat mematuhi apa yang menjadi kode etik organisasi notaris, yang menjadi wadah notaris tersebut. Sehingga notaris tersebut dapat menjalankan tugasnya sebagai seorang profesional pejabat umum yang mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik.
6. Pemerintah tidak boleh membatasi hak asasi manusia, termasuk hak-hak para notaris diluar Ikatan Notaris Indonesia (INI) untuk membentuk organisasi notaris baru, karena jika pemerintah terus memberikan tindakan represif, maka nilai keadilan tidak dapat diwujudkan.
7. Solusi dalam penyelesaian polemik organisasi notaris mana yang diakui oleh pemerintah adalah, bahwa pemerintah harus mengakui semua organisasi notaris yang ada di Indonesia, tetapi ada satu organisasi yang menjadi induk dari semua organisasi notaris tersebut. 






DAFTAR PUSTAKA

Koehn, Daryl. (2000). Landasan Etika Profesi. Kanisius. Yogyakarta. 

Muhammad, Abdulkadir. (2006). Etika Profesi Hukum. PT Citra Aditya Bakti. Jakarta.

Rasjidi, Lili dan Ira Thania rasjidi. (2007). Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum. PT Citra Aditya Bakti. Bandung. 

Rahardjo, Satjipto. (2007). Membedah Hukum Progresif. Kompas. Jakarta. Sidharta. Moralitas Profesi Hukum. (2006). Aditama. Jakarta.

Untung, H. Budi. (2001). Visi Misi Global Notaris. Andi. Yogyakarta. 

Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen I, II, III, IV. Citra Umbara. Bandung, 2002.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Citra Umbara. Bandung, 2004.

Kode Etik Notaris. Ikatan Notaris Indonesia (INI).





RMS Antara Sebuah Gerakan Separatis 
dan Tanggungjawab Pemerintah

Oleh: faisal Gani


Dilematis sekali kondisi Bangsa Indonesia sekarang ini, Bangsa yang berdaulat ternyata hanya sebuah simbol dan slogan saja. Ini terbukti dengan adanya Aksi Gerakan Separatis RMS yang ingin menunjukan eksistensinya di bumi Maluku pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. 

Sejak berdiri pada tanggal 25 April 1950, Republik Maluku Selatan (RMS) yang di Proklamasikan orang-orang bekas prajurit KNIL dan Pro Belanda (diantaranya Chr.Soumokil, Ir.J.A.Manusama dan J.H.Manuhutu), dengan Presiden Dr.Chr.R.S. Soumokil bekas Jaksa Agung Negara Indonesia Timur, RMS bertujuan menjadi negara sendiri lepas dari NKRI. Hingga sekarang masih tetap eksis dengan perjuangan dan tujuannya untuk memisahkan diri dari NKRI, ini di buktikan dengan berbagai macam aksi yang dilakukan oleh aktivis RMS seperti pengibaran bendera, propaganda terhadap masyarakat Maluku dan aksi lainnya yang dapat menodai kesatuan dan persatuan Bangsa Indonesia.

Beberapa tahun terakhir ini secara berkesinambungan RMS melakukan propaganda di Maluku yang menjadi basis gerakannya, diantarannya pada tahun 2001 dideklarasikan sikap RMS yang diorganisir oleh FKM (Front Kedaulatan Maluku) bertempat di Hotel Amboina yang diketuai oleh Dr. Alex Manuputty. Deklarasi itu berisi tuntutan kepada pemerintah Indonesia untuk mengembalikan kedaulatan RMS di Maluku yang katanya telah direbut dengan paksa melalui angkatan perang Indonesia pada tahun 1950.

Masih teringat jelas dibenak kita, peristiwa yang terjadi pada tahun 2004, dimana pada saat itu para aktivis RMS dengan kreatifitasnya mengibarkan bendera RMS (benang raja) dan melakukan konvoi sepanjang kota Ambon dengan begitu bebas tanpa ada rasa takut. Pada saat itu pula masyarakat maluku dengan perasaan khawatir, cemas hanya bisa melihat dan menyaksikan aksi brutal tersebut. Aparat keamanan yang diharapkan sebagai abdi Negara yang berfungsi untuk menjaga stabilitas keutuhan NKRI, hanya bisa melihat tanpa melakukan tindakan preventif dan membubarkan aksi tersebut. Hal ini membuktikan bahwa aparat keamanan Bangsa ini tidak becus dalam menjalankan tugasnya untuk menjaga keutuhan NKRI.

Bertepatan dengan HARGANAS (Hari Keluarga Nasional) yang dipusatkan di Maluku pada tanggal 29 Juli 2007, yang dibuka langsung oleh presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, yang dihadiri oleh beberapa Duta Besar Negara Sahabat dan Gubernur seluruh Indonesia. Republik Maluku selatan (RMS) kembali menunjukan eksistensinya sebagai gerakan separatis yang bertujuan untuk memisahakn diri dari NKRI, dengan mengibarkn bendera RMS (Benang Raja) disaat acara pembukaan HARGANAS berlangsung. Peristiwa ini sangat memalukan kredibilitas Bangsa Indonesia dimata dunia Internasional. Peristiwa tersebut menunjukan betapa lemahnya Badan Intelejen Nasional (BIN), aparat TNI dan POLRI dalam mendeteksi dan melakukan pengamanan sebagai upaya tindakan preventif mencegah terjadinya gerakan Separatis Makar yang memang sudah mengkar di daerah penghasil rempah-rempah tersebut.

Dengan adanaya fakta riil yang selama ini kita saksikan bersama, ternyata eksistensi gerakan separatis RMS di Maluku tetap konsisten dengan perjuangan mereka yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Entah apakah sistim hukum yang lemah atau memang Negara ini tidak mempunyai kredibilitas lagi dalam menjaga keutuhannya???

Sungguh ironis sekali, RMS yang katanya telah lama dibumihanguskan di Republik ini, ternyata masih terus melakukan aktifitasnya. Apakah negara yang besar ini, tidak bisa menyelesaikan masalah separatis yang merongrong kesatuan Bangsa ini. Alex Manuputty sebagai tokoh sentral RMS pernah ditangkap pada tahun 2003 oleh pemerintah, tetapi mengapa?? Dengan pengamanan ekstra ketat, seorang yang nyata-nyata tersangka gerakan separatis, bisa meloloskan diri dari pantauan MABES POLRI. Sungguh diluar dugaan kita, hingga kini Alex Manuputty sedang melakukan lobi poitik diPBB, apakah Bangsa yang besar ini, ingin kehilangan Maluku sebagai Propinsi yang pernah menjadi delapan Propinsi diawal terbentuknya Negara ini, lepas begitu saja dari bumi pangkuan Ibu Pertiwi yang direbut dengan ceceran darah dan air mata para pejuang kita, sungguh naif, jika pemerintah hanya melihat sebelah mata saja masalah sebesar ini.

Dengan adanya peristiwa pengibaran bendera RMS pada peringatan HARGANAS, membuka mata kita bersama, bahwa gerakan separatis RMS sudah saatnya dimusnahkan dibumi pertiwi ini. Yang diharapkan oleh masyarakat Maluku pada khususnya dan Indonesia pada umumnya adalah sikap tegas pemerintah dalam memberantas gerakan separatis RMS hingga tuntas. Jika pemerintah cuek dan tidak bersungguh-sungguh dalam mengatasi masalah RMS ini. Maka jangan salahkan masyarakat jika Maluku keluar dari NKRI dan menjadi seperti Timor Leste.
 


Sekilas Tentang Pendekatan Hermeneutika Hukum Atas Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Dalam Peraturan Presiden nomor 65 tahun 2006

Oleh:Faisal Gani


Ssecara garis besar pemahaman atas teori hermeneutika dapat diketahui dengan dua pendekatan yaitu “Hermeneutika sebagai landasan kefilsafatan ilmu hukum” dan Hermeneutika sebagai “suatu metode atau cara interpretasi.”  

Pertama, hermeneutika sebagai landasan kefilsafatan ilmu hukum. Filsafat hermeneutika adalah filsafat tentang hakikat hal mengerti atau memahami sesuatu, yakni refleksi kefilsafatan yang menganalisis syarat-sayarat kemungkinan bagi semua pengalaman dan pergaulan manusia dengan kenyataan, termasuk peristiwa mengerti dan/atau interpretasi. Filsafat hermeneutika memusatkan perhatiannya pada semua hal yang memiliki makna sejauh ihwal tersebut dapat diungkapkan dalam wahana komunikasi yang disebut bahasa dan dapat dimengerti. Secara umum, obyek kefilsafatan hermeneutika itu teks yang dapat berwujwud tulisan, perilaku, peristiwa alamiah, dan lain sebagainya. 

Kedua, hermeneutika sebagai metode intepretasi. Proses intepretasi itu berlangsung dalam prosese lingkaran spiral hermeneutika (hermeneutika zirkel), yaitu gerakan bolak-balik antar bagian atau unsur-unsur dan keseluruhan, sehingga tercapai konsumasi (hasil akhir) dengan terbentuknya pemahaman secara tepat dalam konteks keseluruhan, sebaliknya keseluruhan hanya dapat dipahami berdasarkan pemahaman atas bagian-bagian yang mewujudkannya. 

Hermeneutika merupakan aliran filsafat yang mempelajari hakikat hal mengerti/memahai ‘sesuatu’. Kata, ‘teks’ atau ‘sesuatu’ dalam pengertian yang sedang dibahas ini dalah berupa “teks hukum atau peraturan perundang-undangan’’, dan ia kapasitasnya menjadi “objek’’ yang ditafsirkan. Dalam hal ini Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembanguan untuk kepentingan umum termasuk salah satu obyek kajian hermeneutika hukum.

Esensi dari pengertian hermeneutika hukum adalah filsafat mengenai hal mengerti atau memahami sesuatu, atau sebuah metode interpretasi (penafsiran) terhadap teks. Kata “sesuatu/teks” yang dimaksudkan disini, bisa berupa:teks hukum, peristiwa hukum, fakta hukum, dokumen resmi negara, naskah-naskah kuno, ayat-ayat ahkam dalam kitab suci, ataupun berupa pendapat dan hasil ijtihad para ahli hukum (doktrin). Metode dan teknik menafsirkannya dilakukan secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks, dan kontekstualisasi. 
Pendekatan hermeneutika hukum atas pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dalam Peraturan Presiden nomor 65 tahun 2006 :

1. Pendekatan dari sisi norma untuk menjawab persoalan yang esensial, seperti mengapa masalah pengadaan tanah harus diatur? Bagaimana cara pengaturannya? Upaya apa yang dapat dilakukan jika terjadi banyak penyimpanagn atau pelanggaran peraturan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, tampaknya belum dapat dijawab secar signifikan, artinya yang benar-benar dapt menjawab beberapa pertanyaan mendasar dimuka. Persoalan ini terjadi karena kesenjangan anatara norma yang tertulis dengan hukum sebagaimana tercermin dalam perilaku masyarakat, yang menurut Philipus M. Hadjon yang mengutip pendapat Lord Lioyd O. Hamstead (1985) dinyatakan bahwa hanya pada tingkatan menggambarkan kesenjangan, tetapi jarang menjelaskannya (the gap is described but is rarely explained). 

2. Adanya perdebatan mengenai makna kepentingan umum yang tercantum dalam PERPRES 65 tahun 2006.


Daftar Pustaka

Bernard Arief Sidharta, Struktur Ilmu Hukum Indonesia, Revisi Makalah “Paradigma Ilmu Hukum Indonesia Dalam Prspektif Positivis. Dalam Jazim Hamidi, Revolusi Hukum Indonesia. Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal. 13.

Jazim Hamidi. Revolusi Hukum Indonesia. Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal. 12. 

Jazim Hamidi. Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan hukum Baru Dengan Interpretasi Teks. UII Press, Yogyakarta, 2005, hal. 44.

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Dalam Muchsin, dan Imam Koeswahyono, Aspek Kebijaksanaan Hukum Penatagunaan Tanah dan Penataan Ruang. Sinar Grafika, jakarta, 2008, hal 134.