Sabtu, 27 Juni 2009

PENEGAKAN HUKUM SEBAGAI WUJUD PELAYANAN KEADILAN BAGI MASYARAKAT (KAJIAN HUKUM PROGRESIF)

Oleh : Faisal Gani


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu faktor penting dalam mewujudkan atau mengiplementasikan cita-cita penegakan hukum adalah peran yang dilakukan oleh penegak hukum. Penegak hukum yang tidak mampu atau gagal menjalankan supremasi hukum sesuai dengan tuntutan masyarakat, dapat berdampak pada krisis kredibilitas atau ketidakperacayaan masyarakat terhadap aparatur hukum. Dimasa pemerintahan orde baru hukum dominan dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan kepentingan golongan. Akibatnya, pencari keadilan seringkali menjadi korbannya. Diera reformasi sekarang hukum harus dikembalikan pada eksistensinya dalam upaya mencari keadilan.

Aspek hukum merupakan bagian penting yang tidak dapat dipsahkan dari Negara Indonesia, sebab hukum sebagai tolak ukur dalam pembangunan nasional yang diharapkan mampu memberikan kepercayaan terhadap masyarakat secara luas dan melakukan pembaharuan secara menyeluruh diberbagai aspek. Undang Undang Dasar 1945 menyatakan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini mengandung makna bahwa hukum diNegara ini ditempatkan pada posisi yang strategis didalam konstelasi ketatanegaraan. Agar hukum sebagai suatu sistim dapat berjalan dengan baik dan benar didalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, diperlukan institusi-institusi yang penegak hukum sebagai instrument penggeraknya.

Mewujudkan suatu Negara hukum tidak saja diperlukan norma-norma hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai substansi hukum, tetapi juga diperlukan lembaga atau badan penggeraknya sebagai struktur hukum dengan didukung oleh prilaku hukum seluruh komponen masyarakat sebagai budaya hukum. Ketiga komponen ini, baik struktur hukum, substansi hukum maupun budaya hukum oleh LM. Friedman dikatakan sebagai susunan struktur hukum.

Penegakan hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan hukum dan sebagai komponen integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam rangka menegakan pilar-pilar Negara hukum. Tujuan yang hendak dicapai adalah mewujudkan tujuan nasional sebagaimana terpatri dalam Undang Undang Dasar 1945.

Penegakan hukum dalam kurun waktu yang lama dipandang sebelah mata oleh masyarakat, sebab hukum tidak mencerminkan keadilan dan kebenaran. Dalam perkembangannya banyak para pejabat pemerintah dan elit politik dinegeri ini telah banyak melakukan kejahatan dan pelanggaran serta penyalagunaan jabatan untuk sebuah kepentingan pribadi maupun golongan semata. Sebaliknya para penegak hukum tidak mampu menjalankan supremasi hukum yang menjadi tuntutan masyarakat, yang mengakibatkan lemahnya penegakan hukum yang berdampak pada ketridakpercayaan masyarakat terhadap para aparatur hukum.

Dari fenomena tersebut muncul ekspektasi agar hukum dapat ditegakan secara kokoh dan konsisten, karena ketidakpastian hukum dan kemerosotan wibawa hukum akan melahirkan krisis hukum. Terwujudnya supremasi hukum menghendaki komitmen seluruh komponen bangsa yang taat pada hukum. Hal ini juga mewajibkan kepada aparat penegak hukum untuk menegakkan dan menjamin kepastian hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran.

Pembaharuan dari penegakan hukum harus dimulai dari pemerintah, aparat hukum dan masyarakat, sebab tidak mudah untuk menyadarkan tentang arti dan makna hukum yang sesungguhnya, keberadaan lembaga-lembaga hukum dinegara Indonesia tidak bekerja secara maksimal karena disebabkan oleh faktor-faktor internal maupun eksternal, faktor-faktor tersebut akan menjadi kendala dalam proses penegakan hukum diIndonesia. Dalam perkembangannya, hukum selalu dituntut untuk maju sesuai dengan tuntutan masyarakat yang merupakan tantangan masa depan dalam membangun konstruksi hukum yang sesuai dengan cita-cita Negara hukum.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan diatas, maka penulis merasa perlu merumuskan permasalahan yang timbul dalam penulisan makalah ini. Adalah, Bagaimanakah upaya penegakan hukum untuk mencapai keadilan bagi masyarakat?

C. Tujuan Dan Manfaat

Dari rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan dan manfaat yang hendak dicapai dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Tujuan :
Untuk mengetahui Bagaimanakah upaya penegakan hukum untuk mencapai keadilan bagi masyarakat.

b. Manfaat :
Dapat memberi kontribusi pemikiran kepada pemerintah, dalam upaya penegakan hukum untuk mencapai keadilan bagi masyarakat. Dan dapat menambah pengetahuan serta pemahaman penulis secara pribadi, dan masyarakat pada umumnya akan pentingnya upaya penegakan hukum untuk mencapai keadilan bagi masyarakat.


BAB II
PEMBAHASAN
Setelah rezim silih berganti, justru penegakan hukum Indonesia semakin terpuruk dan suka atau tidak suka, keterpurukan hukum membawa dampak negatif terhadap semua sektor kehidupan lain. 

Sebelum kita berbicara mengenai bagaimana upaya penegakan hukum demi tercapainya keadilan bagi masyarakat, maka kita perlu mengetahui dulu apa defenisi dari hukum itu sendiri. Dalam bukunya The Behavior of Law Donald Black mengemukakan defenisi yang sederhana dan ringkas, menurut Black, hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah. Black mengartikan kontrol sosial ini sebagai aturan dan proses sosial yang mencoba mendorong perilaku yang baik dan berguna atau mencegah perilaku yang buruk. Ada undang-undang yang melarang pencurian, dan polisi, hakim, serta pengadilan mencoba menegakkannya, ini semuanya adalah contoh dari kontrol sosial yang jelas (atau yang diupayakan).

Dalam pembahasan tentang keterpurukan hukum, saya ingin berangkat dari konsep Lawrence Meir Friedman, tentang tiga unsur sistim hukum (There Elements of legal system). Ketiga unsur sistim tersebut adalah sebagai berikut :
a. Struktur (Structure).
b. Substansi (Substance).
c. Kultur hukum (Legal culture).

Persoalan maha berat yang sedang dihadapi di Indonesia adalah keterpurukan dalam ketiga unsur sistim hukum tersebut. Menurut Friedman, the structure of a system is its skeletal framework; it is the permanent shape, the institusional body of the system, the tough, rigid bones that keep the process flowing within bounds..” Jadi, struktur adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Di Indonesia misalnya, jika kita berbicara tentang struktur sistim hukum Indonesia, maka termasuk didalamnya struktur institusi-institusi penegakan hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Misalnya kita berbicara tentang hierarki peradilan umum di Indonesia, mulai dari yang terendah adalah pengadilan negeri hingga yang tertinggi adalah Mahkamah Agung Republik Indonesia. Juga termasuk unsur struktur adalah jumlah dan jenis pengadilan, yuridiksinya (jenis kasus yang berwenang mereka periksa serta bagaimana dan mengapa), dan jumlah hakim agung dan hakim lainnya. Jelasnya, struktur bagaikan foto diam yang menghentikan gerak (a kind of still photograph, which freezes the action). 

Peran struktur hukum yang dapat dikaji peranannya dalam penegakan hukum adalah lembaga atau badan penggerak dari hukum itu sendiri. Pelaksanaan penegakan hukum adalah lembaga hukum yang diciptakan oleh Negara berdasarkan undang-undang. Hal ini sebagai tolak ukur dalam penegakan hukum di Indonesia, yang juga harsu dibangun sebagaimana yang telah dicitakan oleh bangsa ini. Penegakan hukum oleh lembaga-lembaga struktural ini tergantung pada kemampuan, kejujuran (moral), keberanian, dan kemauan bekerja secara professional. 

Sistim lembaga peradilan yang ada belum mampu memberikan pelayanan hukum yang memuaskan, sehingga kepercayaan masyarakat mulai berkurang. Oleh karena itu perlu adanya perbaikan sistim kerja dan menejemen organisasi lembaga tersebut, yang perlu dibenahi serta dievaluasi kembali.

Selain lembaga peradilan, aparatur hukum merupakan penyumbang atas buruknya sistim hukum Indonesia. Citra aparatur hukum sebagai mafia peradilan, keadilan merupakan barang langka bagi masyarakat. Pengadilan lebih merupakan tempat mencari kemenangan berdasarkan kekuatan ekonomi dari tempat mencari keadilan. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah perkara pidana korupsi yang menyeret oknum penegak hukum ke kursi terdakwa. Ini merupakan gambaran wajah apratur penegak hukum kita yang mempunyai moralitas yang dapat dibeli dengan kekuasaan/uang. Faktor paling pokok yang menyebabkan Indonesia belum mampu mengoptimalkan penegakan hukum adalah faktor sosok penegak hukumnya (Ahmad Ali, 2002:90).

Permasalahan aparatur hukum terletak pada menejemen organisasi dan menejemen sumberdaya manusia yang meliputi masalah struktur, fungsi, dan mekanisme organisasiyang tidak efisien, sedangkan menejemen sumberdaya manusia terkait dengan upaya untuk mendapatkan aparat hukum yang berkualitas, tingkat pendidikan yang sesuai dan sistim evaluasi kerja yang benar, berdasarkan kompentensi dan prestasi.

Selanjutnya, menurut friedman, the substance is composed of subtansitive rules about how institutions should be have. Jadi, yang dimaksud dengan substansi menurut Friedman adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistim itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada didalam sistim hukum itu, mencakup keputusan yang mereka yang keluarkan aturan baku yang mereka susun. Substansi juga mencakup living law (hukum yang hidup), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang atau law books.

Di Indonesia, substansi merupakan output dari sistim hukum atau norma-norma hukum yang dipergunakan untuk mengatur tingkah laku manusia serta hak dan kewajiban manusia, yaitu mengatur pihak yang menegakan dan melaksanakan hukum maupun pihak yang diatur (masyarakat). Keberadaan hukum tertulis ini tergantung pula terhadap kualitas para pembentuknya, sebab dalam pembuatan hukum harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, apabila pembuat undang-undang (legal drafter) atau peraturan tertulis ini tidak berkualitas maka jangan diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan bahkan hanya mementingkan kepentingan penguasa dan merugikan masyarakat.

Akhirnya, pemahaman Friedman tentang the legal culture, system-their beliefs, values, ideas, and expectations. Jadi, kultur hukum menurut Friedman adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistim-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. “Legal Culture refers, then, to those parts of general culture-costums, opinions, ways of doing and thinking-that bend social forces to ward or away from the law and in particular ways”. Pemikiran dan pendapat ini sedikit banyak menjadi penentu jalannya proses hukum. Jadi dengan kata lain, kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Tanpa kultur hukum, maka sistim hukum itu sendiri tidak berdaya, seperti ikan mati yang terkapar dikeranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang dilaut.

Secara singkat, cara lain untuk menggambarkan ketiga unsur sistim hukum itu adalah sebagai berikut.
a. Struktur diibaratkan sebagai mesin.
b. Substansi adalah apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh mesin itu.
c. kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta memutuskan bagaimana mesin digunakan.


Pembangunan Hukum Indonesia Sebagai Upaya Penegakan Hukum Untuk Tercapainya Keadilan

Setelah puluhan tahun supremasi hukum yang didambakan oleh masyarakat tak kunjung datang. Bila dicermati, terlepas dari pemaknaan dan apapun konteks yang melandasiinya, reformasi sesungguhnya memberikan pemaknaan baru terhadap konsep yang ada, yaitu “pembangunan” (termasuk di dalamnya bidang penegakan hukum). Pembangunan menurut kamus besar Bahasa Indonesia dirumuskan sebagai suatu proses, perbuatan, cara membangun. Istilah pembangunan hukum sebagai upaya penegakan hukum demi tercapainya keadilan dinegeri ini, bukan merupakan istilah baru atau sebatas retorika dan wacana semata. Sejak lama the founding fathers pembentuk negeri ini telah mencanangkan pembangunan hukum, sebagai hal yang mendasar sejalan dengan terbentuknya negara yang sebelumnya diwarnai oleh nuansa kolonialisme penjajah bahkan dalam rentang waktu relatif berabad-abad lamanya.

Pasal 1 ayat (3) Bab I, amandemen Undang-Undang Dasar 1945, menegaskan kembali bahwa ‘Negara Indonesia adalah Negara Hukum’. Artinya, bahwa negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak berdasar atas kekuasaan (machtstaat), dan pemerintahan berdasarkan sistim konstitusi (hukum dasar), bukan absolutisme (kekuasaan yang tdak terbatas). Sebagai konsekuensi dari pasal 1 ayat (3) Amandemen Undang-undang Dasar 1945, 3 (tiga) prinsip dasar wajib dijunjung oleh setiap warga negara yaitu supremasi hukum; kesetaraan dihadapan hukum; dan penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak betentangan dengan hukum.

Arah kebijkan pembangunan hukum dimulai dengan dirumuskannya Repelita I tentang hukum, yang kemudian hukum diberi fungsi sebagai pendorong bagi usaha-usaha baru dalam masyarakat yang menunjang pembangunan. Fungsi ini dipertegas lagi dalam rumusan Repelita II dalam ketetapan MPR Nomor IV/MPR/Tahun 1973. Setelah itu berdasarkan TAP MPR Nomor II/MPR/Tahun 1983, maka munculah rumusan pembangunan hukum Indonesia yang tertuang dalam rumusan Repelita III. Kemudian pada rumusan Repelita IV berdasarkan TAP MPR Nomor II/MPR/Tahun 1993, rumusan pembangunan hukum tidak terjadi perubahan, hanya terdapat penambahan yaitu upaya yang harus dilakukan yaitu tentang penyuluhan hukum. Kemudian arah kebijakan pembangunan hukum Indonsia diamanatkan dalam rumusan GBHN RI 1999-2004. Rumusan terakhir berkaitan dengan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN 2004-2009) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 dinyatakan, pembenahan sistim hukum dan politik hukum dalam lima tahun mendatang diarahkan pada kebijakan untuk memperbaiki substansi (materi) hukum, struktur (kelembagaan) hukum, dan kultur (budaya) hukum, melalui upaya :
a. menata kembali substansi hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan tertib perundang-undangan dengan memperhatikan asas umum dan hirarki perundang-undangan: dan menghormati serta memperkuat kearifan lokal dan hukum adat melalui pemberdayaan yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaharuan materi hukum nasional.
b. Melakukan pembenahan struktur hukum melalui pemguatan kelembagaan dengan meningkatkan profesionalisme hakim dan staf peradilan serta kualitas sistim peradilan yang terbuka dan transparan; menyederhanakan sistim peradilan, meningkatkan transparansi agar peradilan dapat diakses oleh masyarakat dan memastikan bahwa hukum diterapkan dengan adil dan memihak pada kebenaran; memperkuat kerifan lokal dan hukum melalui pemberdayaan yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaharuan materi hukum nasional.
c. Meningkatkan budaya hukum antara lain melalui pendidikan dan sosialisasi berbagai peraturan perundang-undangan serta perilaku keteladanan dari kepala negara dan jajarannya dalam mematuhi dan mentaati hukum serta penegakan supremasi hukum.

Dengan ragam rumusan di atas, pembangunan dibidang hukum sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru. Sejak pernyataan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan kolonial Belanda, telah dilakukan berbagai upaya ke arah pembaharuan hukum, baik dari segi sistim, teori, asas, fungsi dan tujuan, peraturan perundang-undangan, sampai dengan penerapan dan penegakannya. Pembaharuan itu didasarkan pada hakekat dari hukum itu sendiri sebagai suatu peraturan yang berlakunya harus memenuhi persyaratan filosofis, politis, yurudis, dan sosiologis. Secara filosofis, hukum itu harus sesuai dengan sistim, teori, asas-asas, fungsi dan tujuan hukum. Dari segi politis, hukum itu harus merupakan buatan dari pemerintahan Negara merdeka dan bukan peninggaln kolonial. Secara yuridis pembuatannya harus memenuhi prosedur pembuatan undang-undang dan tata urutan perundang-undangan yang ada. Sedangkan dari segi sosiologis, hukum diterima dan dipatuhi masyarakat. 


Produk Hukum Progresif (Sebuah Model Alternatif Dalam Pembaharuan dan Penegakan Hukum)

Salah satu tujuan yang hendak dicapai dalam pembangunan hukum adalah pembaharuan peraturan perundang-undangan sekaligus penegakan hukumnya sehingga akan menampakan secara jelas mengenai bagaimanakah hukum kita di masa depan. Hal demikian menjadi mutlak, sebab tanpa adanya arah yang jelas mengenai bagaimanakah perubahan yang di inginkan oleh masyarakat sebagai suatu upaya mengatasi krisis ekonomi dan hukum dalam melanjutkan pembangunan ke masa depan, maka perubahan itu bisa sekedar hanya “ganti baju” dari yang lama ke yang baru, tetapi substansinya masih tetap sama, atau peubahan tak terkendali, yang mungkin akan mengakibatkan tujuan yang di iginkan tidak dapat tercapai sama sekali. Oleh karena itu, reformasi hukum tidak sekedar mengadakan yang baru, nelainkan pula perlu adanya pengembangan moralitas hukum sebagi arah dari perubahan sehingga dapat mewujudkan penyelenggaraan hukum yang “benar-benar” hukum dan tidak kepada hukum yang “bukan hukum”.

Para penganut hukum positif (kaum positivisme) yang memandang hukum sebagai sistim logika yang tertutup, tidak memasukan pertimbangan moral ke dalam hukum. Apabila hukum dipandang sebagai keseluruhan perintah, sebagaimana diajarkan oleh John Austin, maka dapat dikatakan bahwa dalam hukum tidak ada norma moral, karena antara keduanya kontradiktif.

Hukum adalah suatu sarana untuk orang berkuasa atas nama rakyat mengatur rakyatnya mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan dengan paksaan, jadi yang penting adalah “kekuasaan” dan cara-cara melaksanakan kekuasaan itu. Sedangkan moral lebih banyak menilai tentang baik buruknya seseorang. Apabila cara-cara memperoleh dan menggunakan kekuasaannya baik, maka orang tersebut dapat dikatakan bermoral, tetapi sebaliknya bila dilakukan secara buruk, ia dikatakan tidak bermoral (K. Bertens,1994), sehingga dapat dikatakan tidak ada moralitas dalam kekuasaan. Tetapi, meskipun demikina keduannya kontradiktif ternyata dapat berjalan bersama-sama. Sebagai contoh di Amerika Serikat, kekuasaannya dalam bentuk check and balance yang transparan memang memberi kesempatan kepada semua pihak (termasuk pihak yang tidak berkuasa) untuk menguji apakah cara-cara memperoleh dan menggunakan kekuasaan sesuai tidak dengan moral rakyat Amerika. Apabila tidak sesuai, meskipun perbutaan tersebut belum tentu merupakan pelanggaran hukum dapat menjadi kendala dalam memperoleh dan menggunakan kekuasaan.

Apakah yang dimaksud dengan moralitas sehingga aspek ini berperan sangat penting dalam penyelenggaraan hukum dan kekuasaan suatu Negara. Menurut Franz Magnis Soesono (1990), ajaran moral adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan (lisan/tertulis) tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Oleh karena itu, menurut ajaran moral hukum (dalam bentuk peraturan perundangan atau keputusan lainnya) adalah bagian dari ajaran moral yang mengatur tentang suruhan, larangan, dan kebolehan untuk berbuat itu dilakukan atau tidak dilakukan karena ditentukan oleh hukum.

Dengan demikian, apabila refomasi hukum diarahkan pada pengembangan moralitas hukum akan mewujudkan kesadaran hukum masyarakat yang betanggungjawab, yang percaya bahwa hukum yang ada adalah “hukum yang hukum” dan bukan “hukum yang bukan hukum”, yaitu hukum yang hanya sekedar diadakan untuk kepentingan pihak yang berkuasa, tetapi bukan hukum yang sarat dengan nilai-nilai moral.


Upaya Penegakan Hukum Demi Tercapainya Keadilan Bagi Masyarakat

Keadilan menurut Jhon Rawl, bahwa keadilan itu tidak hanya meliputi moral tentang individunya, tetapi juga mempersoalkan mekanisme dari pencapaian keadilan itu sendiri. Pasca reformasi 1998, Indonesia kini berada pada masa transisi. Mencermati carut marutnya penegakan hukum masa lalu dan didorong niat untuk memberikan alternatif dalam memikirkan secara komperhensif jaklan keluar dari keterpurukan Indonesia sekarang ini, Satjipto Raharjo (2004) secara lebih ekstrim (bahkan hal ini telah dirintisnya melalui artikel yang pernah ditulisnya mengenai betapa pentingnya pembangunan hukum) yang berproduk progresif.

Salah satu alasan yang dikemukakan adalah bahwa kita tak bisa lagi mempercayakan penyelenggaraan hukum negeri ini dengan cara-cara konvensional seperti selama ini. Menjalankan hukum dengan gaya business as usual ternyata tidak bisa menolong penyelamatan bangsa ini. Kita telah gagal membangun supremasi hukum. Dunia internasional bahkan telah memberi “rapor” penegakan hukum yang sangat buruk. Telah cukup lama kita mendengar Indonesia sebagai salah satau negara terkorup didunia. Namun koruptornya tak pernah tetangkap.

Gagasan hukum progresif bertolak dari dua komponen basis dalam hukum, yaitu peraturan dan perilaku (rules and behavior). Di sini, hukum ditempatkan sebagai aspek perilaku namun juga sekaligus sebagai peraturan. Peraturan akan membangun suatu sistim hukum positif, sedangkan perilaku atau manusia akan menggerakan peraturan dan sistim yang telah (akan) terbangun itu.

 Apabila dicermati, pemikiran menuju produk hukum progresif ala Satjipto Rahardjo lebih menekankan pada aspek dehumanisasi terhadap produk-produk hukum yang seyogianya akan disusun atau dibangun kelak kemudian hari. Hukum harus dikomposisikan untuk manusia bukan sebaliknya. Dengan demikian, manusia dikomposisikan pada sebuah titik sentral hukum, sehingga berarti; kebahagiannya, kesejahteraannya, rasa keadilannya dan sebagainya menjadi pusat dari kepedulian hukum. Hukum hanya menjadi sarana untuk menjamin dan menjaga berbgai kebutuhan manusia. Apabila hukum tidak mampu mencapai jaminan demikian, maka harus dilakukan dan harus ada suatu upaya kongrit terhadap hukum itu, termasuk dilakukan penataan dan penyusunan kembali.

Hukum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai (values) yang berlaku dalam suatu masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa itu merupakan pencerminan dari nilai-nilaiyang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminann dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu.

Kalau dinyatakan demikian, adanya tuntutan reformasi (termasuk bidang hukum) apakah yang sesungguhnya terjadi. Apakah ada sesuatu dalam pembangunan hukum kita selam ini yang salah?. Penguatan masyarakat bawah seolah melahirkan kesepakatan baru, yakni rakyat memiliki posisi menentukan dalam pelaksanaan pembangunan khususnya pembanguan hukum, bukan sebaliknya hanya merupakan objek marjinalisasi. Nilai-nilai keadilan kini dipersoalkan sudakah menjadi landasan penyusunan kaidah-kaidah hukum selama ini. Tuntutan tanah untuk rakyat, bukan tanah untuk pembangunan yang diatasnya berdiri gedung pusat-pusat perbelanjaan, hilangnya akses petani terhadap tanah, barangkali sebagian persoalan-persoalan ini mewakili termarjinalisasinya kaum tani yang secara umum cenderung terjadi di beberapa daerah secara merata sejak beberapa dekade terakhir.

Dalam pembaharuan hukum di Indonesia menunjukan adanya stagnasi dalam penerapan teori-teori hukum yang ada, dimana terpaku pada teori-teori formalisme/positivisme baik yang dikembangkan oleh Jhon Austin (hukum sebagai perintah yang memaksa dari pengusa yang berdaulat) dan teori stufenbau Hans Kelsen (tata urutan peraturan perundang-undangan). Akibatnya hukum yang ada di Indonesia adalah hukum yang legalistik. Hukum yang legalistik ini telah sejak lama menimbukan persepsi yang keliru di kalangan orang-orang non hukum, yang mana hukum dianggap sebagai salah satu kendala pembangunan, tidak dapat sejalan dengan kemajuan kegiatan masyarakat di bidang ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sebagainya.

Timbulnya pandangan demikian karena dalam pandangan hukum yang legalistik, hukum hanya diindetikkan dengan undang-undang atau hukum sama dengan undang-undang. Para penganut ajaran legalisme berkeyakianan bahwa setiap masalah hukum dapat diselesaikan melalui perundang-undangan, sehingga konsekuensinya masalah itu dianggap telah selesai apabila sudah ada undang-undang yang mengaturnya, sekalipun secara faktual masalah itu masih tetap berlangsung.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Cita-cita penegakan hukum sudah lama menjadi dambaan masyarakat Indonesia, sayangnya obsesi ini tidak mudah diwujudkan, karena tidak sedikit tantangan dan hambatan yang menghalanginya. Dalam upaya penegakan hukum di Indonesia maka semua komponen unsur-unsur hukum, baik itu struktur, substansi, maupun budaya harus bisa berjalan dan bekerja sesuai dengan porsi dan aturan yang berlaku. Sehingga konstruksi hukum Indonesia yang dicita-citakan bahwa hukum sebagai wujud pelayanan keadilan bagi masyarakat dapat diwujudkan. Reformasi di bidang hukum memang membutuhkan waktu yang lama, dan dalam pelaksanaannya merupakan masalah yang rumit dan kompleks, yang tidak mungkin dapat diatasi dengan memperbaiki salah satu bagian dari unsur-unsur hukum. Memperbaikinya harus secara keseluruhan dan tak dapat ditunda lagi. Perbaikan itu meliputi tahap formulasi (pembuatan peraturan perundang-undangan), tahap aplikasi (penerapan hukum dan tahap eksekusi (penegakan hukum).

Disamping itu, upaya terhadap pembaharuan hukum juga perlu terus dikembangkan melalui kegiatan-kegiatan non hukum yang mendukung penyelenggaraan hukum, seperti peningkatan pengetahuan dan kepatuhan hukum, kesadaran hukum, partisipasi dan peran serta masyarakat dalam penegakan hukum, serta perlu ditingkatkan pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan hukum sesuai dengan hak asasi manusia.

Hukum progresif mengandalkan pegangan pada paradigma “hukum untuk manusia”. Manusia merupakan simbol bagi kenyataan dan dinamika kehidupan. Hukum itu memandu dan melayani masyarakat. Hukum akan dirasakan keberadaannya oleh manusia, manakala hukum mampu berperan dalam tugasnya memandu serta melayani masyarakat. 

Dimasa transisi, memang terbuka keleluasaan dalam menafsirkan hukum. Namun, sekali lagi harus diwaspadai bahwa meski ada keleluasaan dalam produk hukum progresif, improvisasi terhadap produk hukum perlu diantisipasi. Penafsiran itu dilakukan hanyalah sebagai sarana untuk menjamin dan menjaga berbagai kebutuhan manusia, karena pada tataran makro, makna manusia dalam konteks ini adalah manusia dalam kehidupan bersama secara sosial (zoon politicoon).

B. Saran
Sudah saatnya kultur penyelengaraan hukum yang terlalu berkosentarsi pada sistim hukum sebagai satu-satunya bangunan peraturan tanpa memasukan dan memformulasikan unsur perilaku didalamnya harus ditinggalkan. Hukum tidak dapat lagi ditempatkan sebagai sebuah dokumen absolut dan otonom. Kreativitas manusia penegak hukumnya harus diberikan kesempatan dalam melakukan improvisasi pada penegakan hukum dan pembangunan hukum.

Disamping itu, upaya terhadap pembaharuan hukum juga perlu terus dikembangkan melalui kegiatan-kegiatan non hukum yang mendukung penyelenggaraan hukum, seperti peningkatan pengetahuan dan kepatuhan hukum, kesadaran hukum, partisipasi dan peran serta masyarakat dalam penegakan hukum, serta perlu ditingkatkan pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan hukum sesuai dengan hak asasi manusia.

Sudah saatnya kultur penyelengaraan hukum yang terlalu berkosentarsi pada sistim hukum sebagai satu-satunya bangunan peraturan tanpa memasukan dan memformulasikan unsur perilaku didalamnya harus ditinggalkan. Hukum tidak dapat lagi ditempatkan sebagai sebuah dokumen absolut dan otonom. Kreativitas manusia penegak hukumnya harus diberikan kesempatan dalam melakukan improvisasi pada penegakan hukum dan pembangunan hukum.





DAFTAR PUSTAKA
Saleh, Abdulrahman. (2005). Penegakan Hukum Sebagai Komponen Integral Pembangunan     Nasional, Komisi Hukum Nasional (KHN) Jakarta, Vol.5. No.1. Mei-Juni.  

Ali, Ahmad. (2002). Keterpurukan Hukum di Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Manan, Bagir Peningkatan Peranan Penegakan Hukum, Komisi Hukum Nasional (KHN). (2005). Jakarta, Vol.4.No.6. Maret-April. 

Arief Nawawi, Barda. (2001). Masalah Penegakan Hukum dan Penaggulangan Kejahatan. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Friedman, Lawrence M. (2002). Sistim Hukum Amerika. Unsur, Fungsi, Dan Masa Depan Common Law. Jurnal Keadilan Vol.2.No.1.

Kusumaatmaja, Mochtar. (2002). Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan. Alumni, Bandung.

Rasjidi, Lili dan Ira Thania rasjidi. (2007). Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum. PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Rahardjo, Satjipto (2007). Membedah Hukum Progresif. Kompas, Jakarta.

Wahid, Salahudin. (2003). Basmi korupsi jihad Akbar Bangsa Indonesia. Pustaka Indonesia Satu dan Center For Good Governance Studies, Jakarta.

Soekanto, Soerjono. (2004). Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Raja Grafindo, Jakarta. 







1 komentar:

  1. PENEGAKAN HUKUM??????

    Kalimat seorang pemimpi!!!!

    Penegakan hukum bisa terjadi jikalau hukum di bangsa ini sudah diketahui....
    kalu hukum hanya sebatas kebrutalan yang disamarkan, seperangkat aturan yang memaksa.......

    itu buat mereka BUNG!!!!

    tapi bagaimana dengan Bangsa Indonesia????
    Apa kita mesti PLAGIAT demi sebuah pengakuan PUBLIK Banhwa kita ini DEMOKRATIS???????

    Temukan dulu Apa HUKUM untuk Bangsa ini!!
    Baru kita bicara penegakan hukum!!!

    BalasHapus